Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Manaus, Tempat Budaya Pribumi Eropa Bersatu

Videografer

Editor

Senin, 23 Juni 2014 14:24 WIB

Iklan
TEMPO.CO, Brasil : Ditengah teriknya cuaca di jantung Amazon, inilah salah satu tempat yang paling eksotis di Brasil. Para pesebak bola dunia perlu kesiapan khusus untuk menghadapi kelembapan arena Amazonia. Manaus terletak diantara salah satu hutan tropis terbesar dunia dengan salah satu sungai terbesarnya.Selama melonjaknya perdagangan karet pada abad ke-19 kawasan ini merupakan kekuatan ekonomi Brasil. Letak Manaus cukup terpencil, di kawasan Amazon ini satu-satunya jalan ke Manaus adalah melalui sungai. Selama beradad-abad legenda menyebutkan kekuatan setan berada di sungai Rio Negro, tetapi sekarang sungai ini merupakan harapan. Anak-anak difabel berenang diseputaran lumba-lumba merah muda melalui botol terapi, perawatan eksperimen yang menggunakan kekuatan alami ultrasound mamalia ini sebagai penyembuh.Hampir seperempat amazon lenyap karena kerusakan hutan, beton dan aspal bisa terlihat di kawasan hutan ini. Batalyon infantri ini merupakan penjaga hutan, dengan sekitar 25.000 tentara pasukan ini mengawasi kawasan yang mencakup setengah dari Brasil.Sejak anjloknya perdagangan karet Manaus sempat jatuh ke jurang kemiskinan, namun pada tahun 1960an kawasan ini ditetapkan sebagai tempat bebas pajak dan menjadi pusat industri, pabrik traks patungan antara Cina dan Brasil merupakan salah satu contohnya. Kawasan ini menarik perusahaan dan pekerja dari seluruh negara dan juga luar Brasil. Kawasan ini juga merupakan perpaduan antara budaya pribumi dan Eropa dengan pemandangan luar biasa bahkan untuk warga setempat sekalipun.Courtesy : BBC IndonesiaRYAN MAULANA