Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Main-Main Kartu Jakarta Jomblo

Videografer

Editor

Jumat, 12 Mei 2017 12:31 WIB

Iklan
TEMPO.CO, Jakarta: Menjadikan Kartu Jakarta Jomblo sebagai program resmi pemerintah, selain terkesan main-main, mencerminkan cara pandang yang salah terhadap kaum lajang.Program Kartu Jakarta Jomblo (KJJ) berulang kali disampaikan Sandiaga Uno, bertujuan memastikan setiap warga Jakarta bisa memiliki pasangan hidup. Dengan memiliki KJJ, para lajang itu bisa mengikuti kegiatan yang difasilitasi pemerintah. Kegiatan itu, misalnya, berupa acara-acara di ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) dan nonton bareng. Barangkali agar KJJ terlihat lebih serius, Sandiaga mengatakan kebijakan itu merupakan turunan dari program OK OCE dan DP nol rupiah. Sandiaga beralasan program KJJ penting untuk mengantisipasi penurunan populasi seperti yang terjadi di kota-kota besar dunia. Tak terlalu jelas apa yang dimaksudkan penurunan populasi itu. Jika merujuk pada tingkat pertumbuhan penduduk Jakarta, memang benar angkanya terus menurun. Namun Sandiaga lupa bahwa penurunan angka itu memang disengaja lewat program Keluarga Berencana. Lagi pula, apakah sudah kasatmata bahwa Jakarta yang padat dan sesak ini memang akan kekurangan penduduk? Sandiaga juga luput melihat bahwa saat ini Jakarta justru menerima bonus demografi. Jumlah penduduk usia muda (>40 persen) jauh lebih besar ketimbang usia tua (15 persen). Mereka inilah yang mesti diurus dengan menyediakan lapangan pekerjaan, kebutuhan dasar, dan fasilitas publik yang cukup. Memandang lajang sebagai entitas yang memerlukan perlakuan khusus dengan memberikan Kartu Jakarta Jomblo sejatinya merendahkan mereka. Setiap orang hanya layak dinilai berdasarkan kontribusinya bagi masyarakat, bukan berdasarkan apakah ia lajang atau berpasangan. Sumber: Tajuk Koran Tempo Edisi 9 MeiProduser: Sadika HamidEditor: Andy