Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Politik Iuran Jaminan Kesehatan

Videografer

Zakiyah

Editor

Nita Azhar

Kamis, 2 Januari 2020 20:00 WIB

Iklan

Mulai 1 Januari 2020, iuran Jaminan Kesehatan Nasional naik, terutama bagi pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP). Kenaikannya masing-masing sebesar 60,7 persen (dari Rp 25.500 ke Rp 42 ribu), 116 persen (Rp 51 ribu ke Rp 110 ribu), dan 100 persen (dari Rp 80 ribu ke Rp 160 ribu) berturut-turut untuk kelas III, II, dan I.

Kenaikan ini telah menjadi ingar-bingar komunikasi politik antara Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Intinya, walaupun menyetujui kenaikan iuran, Dewan tidak menyetujui kenaikan iuran bagi PBPU kelas III karena memberatkan ekonomi mereka.

Dewan meminta BPJS Kesehatan menambal selisih kenaikannya dari surplus klaim rasio peserta penerima bantuan iuran (PBI). Sebenarnya, iuran PBPU kelas III tidak perlu naik hingga dapat menggerogoti kesehatan Dana Jaminan Sosial Kesehatan (DJS). Pertama, BPJS Kesehatan berpotensi kehilangan pendapatan dari iuran PBPU dan BP kelas III saat ini (peserta aktif serta sebanyak 30 persen kelas II dan I turun ke kelas III) sebesar Rp 3,7-4 triliun.

Padahal kenaikan iuran ini belum tentu dapat menutupi defisit pada 2020 sekalipun pemerintah telah menggelontorkan dana Rp 14 triliun. BPJS Kesehatan masih membawa defisit pada 2019 sekitar Rp 18 triliun ditambah hilangnya pendapatan dari PBPU kelas III, sehingga BPJS Kesehatan sudah memiliki pengeluaran tanpa pelayanan pada 2020 sekitar Rp 22 triliun.