Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Ahok: Saya Berikan Kewajiban Tambahan, Bukan Barter dengan Pengembang

Videografer

Editor

Kamis, 26 Mei 2016 06:53 WIB

Iklan
TEMPO.CO, Jakarta: Menurut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, izin pertama reklamasi teluk Jakarta diberikan kepada PT MKY pada tahun 1997. PT MKY berhak melakukan reklamasi 17 pulau dengan syarat harus memberikan kontribusi untuk mengatasi pesisir utara Jakarta. Pada tahun 2012, dikeluarkan perjanjian kerja sama, tetapi syarat tersebut menjadi hilang. Karena itu Ahok menolak perjanjian kerja sama tersebut dan menginginkan kebijakan yang mengacu pada tahun 1997. Kegaduhan soal reklamasi teluk Jakarta mulai mencuat ketika Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi tertangkap tangan menerima uang sebesar Rp 1,14 miliar dari Trinanda Prihantoro. Usai melakukan OTT, KPK langsung memeriksa beberapa orang saksi termasuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Menurut Ahok, draft yang telah disiapkan oleh Balegda mengenai kontribusi tambahan 15% yang telah ditetapkan olehnya hilang, sama persis seperti yang diajukan oleh M. Taufik. Hilangnya draft kontribusi tambahan sebesar 15% yang diajukan oleh Balegda dicurigai sebagai bentuk barter dengan uang yang telah diterima Mohammad Sanusi. Tetapi, menurut Ahok, tiba-tiba dirinyalah yang diduga melakukan barter. Ahok menepis tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa yang dicurigai melakukan barter lebih cocok mereka, bukan dirinya. Ahok menekankan bahwa dirinya tidak melakukan barter. Ahok memberikan kewajiban kepada pengembang menurut NJOP. Karena itu, tiap tahun kewajiban pengembang akan terus bertambah mengikuti harga NJOP. Ahok juga mengkritik pemberitaan dirinya di Koran TEMPO yang mengatakan bahwa dirinya tidak berhak untuk melakukan diskresi menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Diskresi. Menurut dia, undang-undang tersebut adalah undang-undang tentang administrasi pemerintahan yang menguatkan pejabat boleh melakukan diskresi sejauh tidak untuk kepentingan pribadi.Jurnalis Video/Editor: Ridian Eka Saputra